†:::I WILL NEVER BE A MEMORY:::†
Amebaでブログを始めよう!
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 最初次のページへ >>

Bye Bye

I am no longer active here.




†:::I WILL NEVER BE A MEMORY:::†








Thanks for visiting my ameblo ~

[ViViD fanfic] I Know That I'm Kawaii

Title: I Know That I’m Kawaii
Chapter: One shoot
Author: Me… Yukiru Kiyo[no]saki
Fandom: J-rock [ViViD]
Pairing: ShinxIV, RenoxIV
Genre: Romance [??]
Warning: Paling males ngisinya…= =
Disclaimer: Not mine
A/N: Cerita ini sedikit terinspirasi dari temen FB saia. Ga sengaja nengok fb-nya dan menemukan ide disitu... khukhu... Berhubung dari kemaren lagi demam banget ama ViViD jadinya saia pake pairing paporit saia deh... xDDD
Oya itu pikku editannya sebenernya asli potonya ivu sama hikaru tapi saia edit lagi biar potonya keleatan ga asli.. hwakwk *MAKSA*
Oke, please enjoy ajah... Gomen kalo ceritanya aneh n geje...=="



Aku tahu aku keren. Aku takmengada-ada… begitu banyak wanita menggilaiku. Kalian tak percaya?Oke… lihatlah account facebook-ku. Setiap hariaku menemukan puluhan friend request disana… baca juga wall commetsku. Mereka semua cewek-cewek lebai yang tergila-gila pada tampang half Japanese-chineseku. Tak jarang juga mendapat relationship request dari cewek-cewek yang sama sekali tak ku kenal.Aku tahu beberapa dari mereka mencuri foto-fotoku dan mengeditnya seperti gambar ini contohnya…

†:::I WILL NEVER BE A MEMORY:::†




Who’s that…??? I have never known her… or him before!!


Ah ya… namaku Ivu. Cukup itu saja mereka memanggilku. Kebanyakan dari mereka menambahkan –chan, -san,-kun dan sebagainya. Apapun yang mereka suka.

Malam ini aku kembali menyalakan komputerku dan membuka facebook sekedar untuk bermain game dan aplikasi kesukaanku. Langsung kudapati tumpukan friend request, notification, dan lain-lain. Aku hanya sepintas membaca wall-wall di profileku. Biasanya aku hanya mood membalas tiga wall teratas saja. Salah satu wall comments yang kubalas adalah satu-satunya wall comment yang kulihat dari seorang cowok.

Saat kubuka halaman profile-nya, kujumpai hal yang tak jauh berbeda dengan yang kulihat di profile ku sendiri. Banyak wall comments dari cewek-cewek disana. Hmh... tak heran. Tampang orang ini memang cukup... yeah kawaii. Hanya saja ia terlihat sedikit lebih dewasa dariku. Namanya Shin... begitulah orang-orang memanggilnya.

Hari berikutnya aku mendapati balasan wall comments dari orang itu lagi. Sebenarnya tak ada yang menarik dari pembicaraan kami. Hanya basa-basi biasa dan perkenalan. Tapi entah kenapa orang itu terlihat mengesankan bagiku.

Mungkin karena dalam beberapa hal ia mirip denganku. Sepertinya ia juga menyadari kelebihan fisik yang dimilikinya dan merasa sama bosannya melihat kelebaian cewek-cewek itu. Terakhir kulihat ada seorang cewek yangmembuat fansign dengan cara yang sedikit ekstrim. Ia menuliskan nama Shin di... err... **** dan Shin langsung men-delete-nya tanpa pikir panjang. Setelah itu sepertinya ia me-remove cewek itu dari friendlistnya.

Suatu hari aku iseng saja mengajaknya chatting. Dan ternyata ia membalasnya.
Yes!!! Mendadak aku jadi girang.

Ivu: shin, where are u from?
Shin: tokyo
Ivu: benarkah? ak jg
Shin: oh kebetulan... :)
Ivu:ya
Shin: msh sekolah?
Ivu:ya... u?
Shin: kerja di klub
Ivu:itu pantas untukmu. Tampangmu tak spt org kantoran :p
Shin: lol...
Ivu:pasti bnyk gadis menyukaimu
Shin: haha... tdk jg
Ivu:tak mungkin... tampangmu terlalu menyilaukan lol
Shin: apa? Menyilaukan?
Ivu:ya... maksudku sangat tampan. Kau bisa dg mudah menggaet mereka.Bahkan laki2 pun bs menyukaimu
Shin: tak penting
Ivu: kenapa?
Shin: kau terlalu sok tahu
Ivu: eh? Maav

Shin is offline

He? Apa aku salah bicara??


Pip..pip…pip…

Suara ponselku mengalihkanpikiranku dari monitor komputerku.
”Moshi moshi...”
”Ivu-chaaan...”terdengar seruan manja dari ujung telepon. ”Ivu-chan kita nontonyuuk... Mochi punya dua tiket nih... Nanti Mochi jemput dehh... Maukan????”
”Maaf ya, aku tak bisa...”

Klek. Telepon kuputus.

Pip.. pip... pip...

Ponselku berdering lagi. Dasar cewek! Aku mengangkat telepon itu dengan sedikit kesal. ”Sudah kubilang aku tak bisa!!”
”Hei... Hei... Ivu ini aku, Ko-ki...”
”Ah? Ko-ki??”
”Ya..”
”Maaf, kupikir cewek cerewet itu...Ada apa?”
“Haha... ya, ya tak apa tuan kawaii,” ledeknya. ”ayo ikut ke klub…” ajaknya.
”Hmm... oke...”

Malam ini keriuhan mengelilingiku dimana-mana namun aku tak begitu menikmatinya. Aku hanya minum sambil mengamati sekelilingku. Tiba-tiba tatapanku terhenti pada sesosok laki-laki berambut kecoklatan dengan pakaian seperti pelayan.

”Hei...” panggilku saat ia meintasiku.
”Ya? Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan namun tegas.
Aku mengamati tiap gurat wajahnya dan memastikan orang ini benar-benar orang yang kukenal.
”Sepertinya aku pernah melihatmu.”
”Benarkah?”
”Ya... kau... Shin??!”
Ia sedikit terkejut.
"HEII SHIN!!! ANTARKAN MINUMAN INI!!!” seru seorang laki-laki paruh baya diantara keriuhan.
”Maaf, aku permisi dulu...” Ia berlalu pergi. Tatapanku masih mengikutinya hingga sosoknya lenyap dari pelupukku.


Sejak malam itu akujadi semakin penasaran pada sosok seorang Shin itu. Apa yang membuatku penasaran? Entahlah... sejak awal ia sangat menarik perhatianku. Aku selalu menunggunya online dan mengajaknya chatting. Bahkan kadang aku mengintai account facebooknya... aku tahu ini berlebihan tapi aku sangat ingin mengenalnya lebih jauh.

Hei... jangan-jangan aku...

Ah tidak mungkin!Aku laki-laki dan dia juga laki-laki... perasaanku ini hanya sebatas kekaguman semata pada sosok itu kan?

Malam ini aku kembali ke klub malam sendirian. Aku sangat ingin menemuinya dan melihat sosok tampan itu...
”Hei, Shin!” sapaku.
”Oh.. hei…”balasnya.
“Kau sedang sibuk? Bisa temani aku minum?”
”Ah... maaf, aku masih banyak pekerjaan, Ivu. Nanti saja ya?”
”Oke, tak masalah...”

Tak masalah. Aku hanya ingin melihatnya saja. Mengamatinya bekerja dan... dirayu oleh cewek-cewek yang datang ke klub. Dasarjalang mereka! Aku tahu Shin terpaksa meladeni mereka. Tapi aku sungguh sangat muak melihat tingkah laku cewek-cewek itu...

Aku mendengus kesal dan beranjak pergi dari situ menuju kamar mandi. Aku tak menyadari seorang pria yang sejak tadi mengamatiku mengikuti langkahku.

Aku tak tahu kenapaaku pergi ke tempat ini. Kamar mandi yang sepi dan jauh dari keriuhan. Aku merasa gerah di tempat bising itu. Dan hanya inilah tempat paling tenang. Aku baru menyadari ada yang aneh dengan laki-laki kurus berpiercing itu sejak ia melontarkan tatapan penuh kemesumannya padaku. Kemudian ia mendekatiku hingga aku tersudut merapat ke dinding. Tak ada orang lain di sini, aku tak bisa minta tolong siapapun dan tak ada yang bisa mendengar teriakanku kalaupun aku berteriak.

”Hei, manis... kenapa kau sendirian?” ucapnya sambil merapat padaku. Napasnya yang berbau rokok dan alkohol menyapu pelan wajahku.
Aku menundukkan wajah,menghindari mulutnya saat hendak menyerang bibirku.
”Jangan sentuh aku, homo!! Pergi kau!!!”

Tapi untuk kedua kalinya saat ia menyerangku, aku tak dapat mengelak lagi. Mulutnya membungkamku rapat dan bergerak liar melumati bibirku meski aku terus memberontak. Aku mengerang kesakitan saatia menggigit bibirku hingga terluka.

”HEI, APA YANG KALAIN LAKUKAN??!” tiba-tiba seorang laki-laki menerobos masuk. ”Reno, jangan sentuh dia!!!” seru Shin. Ia mendekati kami dan menarik tubuh laki-laki bernama Reno itu dengan kasar.
”Jangan ikut campur kau, Shin!” laki-laki kurus itu menampik tangan Shin yang mencengkram erat kerah bajunya.
”KUBUNUH KAU JIKA BERANI MENGGANGGUNYA LAGI!!!” gertak Shin.
”S***!!!” laki-laki itu membanting pintu kamar mandi keras-keras.

”Kau baik-baiksaja???” tanyanya setelah orang itu berlalu.
”Y-ya...”wajahku masih pucat pasi karena shock.
”Pulanglah...”ucapnya. ”kuantar kau...”
”Ke-kenapa dia menyerangku, Shin?”
Shin menatap kulekat. ”Karna kau menarik perhatiannya.”
”Aargh...menjijikan!!!” aku mengusap-usap bibirku dengan lengan kemejaku, mencoba menghapus bekas ciuman menjijikan itu.
”Hah? Kupikir kau juga gay...”
”A-APA?? Bagaimana bisa kau berpikir begitu??”
”Kau selalu menatapku dengan tatapan...”
”Tatapan seperti apa??”
”Yah... begitulah...”
Benarkah itu?? Aku... aku sama sekali tak menyadarinya... Tapi aku merasa sangat normal! Tak mungkin aku... gay.

”Lantas kau sendiri?? Kau juga gay??”
”Aku bi,”jawabannya sedikit menghenyakkanku. ”entahlah... aku tak begitu peduli.”
Aku tak menimpali apa pun. Otakku terlalu sibuk berpikir tentang gay, bi,straight... dan sedikit takut membayangkan kalau aku adalah...

”Kau masih ragu? Aku akan membuktikannya...”

Ia menyongsong mulutku dengan ciuman basahnya. Aku tak melawan sedikitpun. Setelah beberapa saat ia memburu bibirku, mendadak aku merasakan ada yang berdesir pelan dalam tubuhku. Aku balas menyongsong ciumannya lebih dalam dan membiarkannya lebih leluasa menggerayangi bagian dalam mulutku dengan lidahnya. Aku tak peduli lagi dengan sisa-sisa pikiran membingungkan di otakku sebelumnya.

Aku... sangat menikmatinya...


-OWARI-


Mwahahah...Shiiiin…. Ivuuu…. *fujoshi mode on*xDDD
Tapi saia ga brani macem-macemin mereka ah… Cuma kissu-kissu ajah… I love theem!! xD
Maav klo ficnya geje..... bener2 lagi ga kondusif otak saia belakangan... = ="


ViViD Pictures, Images and Photos

...

hmh..........

kenapa harus kek gini?
i know im a foolish....(´・ω・`)

涙も嘘も愛も許せない俺が
大嫌いで…でも戻れないから…


†:::I WILL NEVER BE A MEMORY:::†


Enjoy~

MAXED #1

兄弟

哀しい

NEGA FANFIC - [un]REAL

Title: [un]REAL
Chapter: One Shoot
Author: Yukiru Kiyosaki
Fandom: J-rock [Nega]
Pairing: RayXSan, JinXSan
Genre: Angst
Warning: Ga ada deh.
Disclaimer: I don’t own them in reality…
A/N: Lalalaala… kembali meluncur satu fic lebay dari saia…
Oya sekedar penegasan aja... saia emang suka nulis fanfic buat menyalurkan imajinasi n perasaan, termasuk kecintaan saia sama band/orang yang bersangkutan dalem fic saia. Jadi saia nulis fic bukan semata-mata karena saia HANYA memandang j-rock/v-kei dari segi yaoi dan ke-ero-annya *meski ga muna juga saia sering mikir ero-ero juga tapi setidaknya saia MASIH MEMAKNAI VISUAL KEI ADALAH MUSIK DAN INSPIRASI BAGI SAIA*.
Ehm... semoga bisa dimengerti buat pihak yang mengecap saia kek gitu.
Maap jadi kebanyakan bacot dulu... Met baca...^^


San memeluk tubuh Ray erat-erat. Sosok itu kini tlah nyata kembali ke pelukannya. Kebahagiaan meluap dalam longsoran air mata yang tak dapat lagi ia hentikan. Ray menatap sosok dihadapannya dan membalas keharuan itu dengan seulas senyuman. Lama ia tak menatap wajah manis San. Sangat manis, seperti myori-myori yang tersenyum menyambut dengan haru kepulangan musim semi.

Apakah ini mimpi?
---------------------------------

”Ray... jangan tinggalkan aku lagi...” San mendekap sosok itu lebih erat.
”Maafkan aku, San...”
”Tidak... jangan katakan itu lagi! Aku sudah melupakan hal itu, Ray... sungguh... Aku hanya ingin kau kembali padaku!”

Ray menyingkirkan tangan San dan kembali menatap matanya lekat. ”Maaf...”
Ray berpaling pergi. Beranjak semakin jauh dari jangkauan San tanpa pernah berpaling lagi. Dan tanpa meninggalkan segorespun jejak langkahnya di atas rerumputan yang merebah layu.


”Ray...” panggilnya berulang-ulang.
”San?” Aku terjaga di sisi San.
”Ray, jangan pergi lagi... Kumohon... kumohon...”
Tanganku membelai wajahnya pelan, menyeka pipinya yang basah oleh air mata.
”San, kau mengigau lagi,” bisikku di telinganya.
Ia membuka matanya dan tersadar dari mimpinya. ”Jin... aku mengigau lagi ya?”
”Ya...”

Ya, hanya sebuah mimpi...
---------------------------------

San terdiam. Aku tahu aku tak butuh jawabannya. Aku tahu setiap malam hanya Ray yang ada dalam mimpinya, yang mengisi lembar-lembar kenangan di relung hatinya. Ya, hanya nama Ray yang tertulis disana... hingga tak ada lagi tempat untuk menuliskan segores kecil namaku.

”Kapan Ray akan pulang, Jin?” tanyanya sambil menatapku dengan tatapan itu... tatapan yang memaksaku bergelut dengan perasaanku dan kenyataan yang kusimpan rapat.

Aku tak tahu harus mengatakan apa padanya. Kumohon, San... jangan tanyakan hal itu lagi. Aku merasa sesak tiap kali pertanyaan itu terlontar keluar dan menghujamku. Ray tak akan pernah pulang, ia takkan pernah kembali berapa kalipun kau menanyakannya!

Karena ia telah mati...

Tapi bagaimana aku seharusnya kukatakan padamu? Aku tahu kau tak hanya akan menangis tapi juga tercecer berkeping-keping seperti pecahan cermin yang kau pecahkan jika kau marah atau kesal. Aku tak dapat berbuat apa-apa padamu. Aku hanya bisa memunguti potongan-potongan itu satu per satu, seperti aku memunguti serpihan-serpihan hatimu sejak Ray pergi.

San masih menungguku mengatakan sesuatu. Aku semakin terpojok oleh tatapannya.
”Tidurlah... besok pagi kau harus berangkat kan?” hanya kata-kata itu yang dapat kulontarkan.


”Kau semalam habis begadang?” tanya Yu, teman kerjaku. Rupanya sejak tadi ia mengamatiku menguap berkali-kali.
Aku menyingkirkan kertas-kertas di hadapanku dan berpaling ke arahnya.
”Hanya tak bisa tidur.”
”Apa karena memikirkan San?”
”Ya... Aku tak sanggup mengatakan padanya, Yu...”
”Cepat atau lambat ia akan tahu yang sebenarnya.”

Ya, kau benar Yu. Tapi aku tak sanggup melihatnya ’mati’ setelah kukatakan yang sebenarnya.

”Kau pulang saja jika merasa tak enak. Biar aku yang selesaikan pekerjaanmu, Jin...” tawarnya.
”Aku tak apa-apa, Yu.”
“Aku tahu pikiranmu sedang kacau, Jin. Jangan memaksakan diri…”
Aku menatapnya dan tersenyum. Yu… kau memang sahabat terbaikku…


Hari ini aku pulang ke rumah lebih awal. San pasti belum pulang, pikirku.

Klek.

Pintu apartemen tak terkunci. Apa San sudah pulang?

“San?” panggilku.
Ia tak menyahut. Tapi tak berapa lama kemudian sosoknya keluar dari dalam kamar dengan terburu-buru sambil membawa sebuah koper di tangannya.
“Mau pergi kemana kau, San?” tanyaku seraya memapasnya sebelum ia keluar.
“Aku akan menyusul Ray. Aku merasa sesuatu telah terjadi padanya…”
“Kemana kau akan mencarinya??”
“Aku tak tahu! Aku hanya ingin pergi mencarinya! Dimanapun Ray aku akan mencarinya!”
“Kau bodohhh…!!!” Aku tak tahu lagi bagaimana caranya menghentikan San. Aku sudah kehabisan kata-kata untuk menutupi kebohongan ini. Tapi aku tak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada San…
“Persetan ucapanmu, Jin! Cepat menyingkir dari pintu itu!”
“Tak akan.”
“Kenapa? Kenapa kau terus menghalangiku dan Ray selama ini, Jin? Kau juga menyukai Ray??”

BODOH!

Kau benar-benar bodoh, San… Bagaimana bisa kau berpikiran seperti itu? Kenapa selama ini kau tak pernah menyadarinya? Menyadari betapa aku sangat sangat menyayangimu… Betapa aku sangat tersesak memendam perasaanku ini demi kau dan sahabat terbaikku??

“Bukan. Aku hanya tak ingin sekali lagi kehilangan orang yang kusayangi…”
“Kau berkata seolah Ray telah mati… Cepat menyingkir dari situ!!” San mendorongku hingga aku terhempas ke dinding.
“YA, DIA MEMANG TELAH MATI!!!”
Langkah San terhenti oleh kata-kataku. “A-apa??”
“Dia telah mati!” ulangku.

San terhenyak diam seperti ada yang mengunci mulutnya. Ia sama sekali tak beranjak dari tempatnya dan terbungkam beberapa saat.
“Maaf… aku… aku tak tahu bagaimana mengatakannya padamu, San… aku…”
“Sudahlah…”

Tak seperti yang kukira. San hanya terdiam. Aku tahu air matanya telah meluruh jatuh meski ia menenggelamkan wajahnya. Perlahan-lahan tubuhnya melorot jatuh ke lantai kemudian menangis sesenggukan.

“San…”

Aku mendekatinya. Namun aku hanya dapat menatapnya pilu bersama perasaan bersalah yang meliliti perasaanku ini. Sungguh… aku tak tahu kata-kata apa yang harus kulontarkan, darimana aku memulainya… apa yang harus kukatakan??

“San, maafkan aku… aku… aku tak bermaksud menyembunyikannya darimu. Aku hanya tak tahu bagaimana mengatakannya padamu… Sunguh San... “
“Tak apa… Sebenarnya sejak awal aku sudah tahu, Jin. Aku pernah mendengar pembicaraanmu dengan Yu tanpa sengaja…”
“Lalu kenapa kau masih ingin mencarinya??”
“Aku… hanya masih tak dapat mempercayai kenyataan yang kulihat, Jin. Meski aku tahu dia telah mati tapi akal sehatku tetap saja menolak kebenaran itu. Jadi kumohon biarkan aku pergi mencarinya hingga aku lelah dengan sendirinya dan cukup kuat menerimanya…”

Jadi itu yang kau inginkan? Pergi dariku… Aku mengerti. Berada di sisimu pun aku tetap tak berguna, tak ada artinya. Kau lebih menginginkan untuk mengejar hal mengambang dan samar ketimbang hal yang telah jelas nyata ada disisimu.

“Baiklah… Tapi berjanjilah kau akan kembali kelak...”
”Ya, aku akan kembali. Tapi sebelum itu... kumohon jangan pernah mencariku...”

†††

”Jin... kau sakit? Wajahmu sangat pucat.” tanya Yu.
”Daijoubu... hanya sedikit demam...” kataku sambil mengenakan jaketku sebelum keluar dari ruang kerja. ”aku pulang duluan ya?”
”Kau yakin tak apa-apa?” Yu tampak khawatir.
”Ya, jangan khawatir.”

Aku baru beranjak beberapa langkah, tiba-tiba saja pandanganku berkunang-kunang. Kepalaku sakit... Rasa nyeri ini mejalar hebat meliliti kepalaku hingga aku tak kuat menahannya dan terjatuh pingsan.

”JIN!!”


(author= huee... binguuuung lanjutannyaaa.... >_<)


Aku masih menantimu kembali. Mengharapkanmu seperti dedaunan pucat yang meringkuk layu merindukan tawa musim semi. Tiap detik waktu bergulir, tiap kisah yang berganti di tiap musim, serasa membunuhku perlahan dalam kepasrahan.

San...

Aku hanya ingin kau kembali. Kumohon, atau aku yang akan segera pergi...

†††


Klek.
Seseorang memutar knop pintu depan. ”Jin?” panggilnya.
Ia melangkah masuk ke dalam. Sudah lama ia tak menatap tempat ini, tempat yang sangat ia rindukan.
”Aku kembali...”

Tak ada sahutan. Ia menerobos masuk ke kamar Jin dan ia menemukan sosok kurusnya di situ.
”Jin?” panggilnya.
”SAN!!!” Ia menoleh dan terkejut.
”YU??! Kupikir kau Jin!”
Serta merta Yu memeluk Jin erat-erat.

”Kau sudah pulang, Jin...” ucapnya haru hingga berkaca-kaca. Yu selalu seperti ini. Ia mudah sekali menangis.
”Sedang apa kau disini? Maksudku di kamar Jin?”
”Tidak... Hanya membereskan beberapa barang...”
”Barang apa? Lalu dimana Jin?”
”Dia tak ada...”
”Kemana dia?”

Yu tak menjawab. Ia kembali mengemasi barang-barang milik Jin.
”Yu! Dimana dia??!” ulang San sekali lagi.
”Dia pergi, San...”
”Kemana?? Kapan dia akan pulang?”
”Dia tak akan pernah pulang...” Yu tertunduk saat mengatakannya. ”menyusul Ray...”
”A-apa...” San mengangkat wajah Yu dan memastikan ia hanya bercanda. ”APA MAKSUDMU, YU??!”
”Setelah kau pergi Jin sakit-sakitan. Ia tak pernah peduli pada penyakitnya dan hanya memikirkanmu. Ia sangat ingin bertemu denganmu sebelum pergi... tapi kau tak kunjung kembali menemuinya...”
”J-jin...” Tubuhnya jatuh bersimpuh dan air matanya berurai tanpa dapat ia hentikan. ”JIIIIIINN...... KENAPAAA......????”

---------------------------------
KUMOHON katakanlah semua ini hanya sebuah kebohongan. Lebih baik aku tertidur daripada harus kembali terjaga meniti kepahitan. Sungguh aku telah lelah berjalan bersama keduanya,

Kenyataan.

Kebohongan.


Keduanya beriringan melangkah di sisiku. Dan aku terbius mengikuti mereka karena aku sendiri telah kehilangan diriku. Kini tak ada bedanya bagiku, kebohongan yang tersenyum... dan kenyataan yang menyayat.
Ray... Jin… Apakah kalian pernah nyata untukku? Bagaimana aku membuktikannya?
Dan mata pisau itu menatapku tajam. Sepertinya ia telah memberiku sebuah jawaban. Tak akan terasa sakit jika ini memang benar tak nyata...

”Saaaann...... jangaaan........” teriakan Yu sama sekali tak membuat San mengurungkan niatnya meyatakan pisau itu ke urat nadinya.

-OWARI-


Yosh... selese juga... akhernya mati deh! hwakwk
Sebenernya udah lama yui nulis fic ini tapi baru kelar hari ini karna writer’s block XD
Sankyu buat yang udah baca yapp................^ ^

†:::I WILL NEVER BE A MEMORY:::†

THANXX

[fanfic narsis] ジュイ or イヴ Chapter-4

Title: Snowflakes
Chapter: 4/??
Author: Yukiru Kiyosaki
Fandom: J-rock [Vidoll, ViViD, ScReW] & OFC
Pairing: Jui X OFC, IV X OFC, Byo X OFC
Disclaimer: I’m pregnant with Jui’s baby [LOL]
Genre: Romance, Angst
Warning: No warning, hanya sekedar mengingatkan kalo ini fic narsis bin lebay si author
A/N: Akhernya fic ini Yui post di fb jugak… Ga pede bener sie sebenernya. Tapi yaudahlah.. bodo amat! Gomen kalo yg udah di tag tapi ngga ngerti jalan cerita chapter sebelomnya… soalnya Yui post di Ameblo. Kalo ada yang salah-salah tolong dibenerin yah? Ehem...... ntu genrenya udah bener pan?? XD


So much time has gone by
But, until now, I have not been able to say
”White fairy, tonight I want to tell you gently
You are so beautiful…”



IV menyapu pandangannya ke seluruh penjuru koridor sekolah yang telah sepi, mencari-cari satu sosok yang telah menunggunya sejak beberapa menit yang lalu. Ia menangkap sosok itu dan segera menghampirinya.

”Ada sesuatu yang ingin kau bicarakan denganku?” tanyanya pada laki-laki itu.
”Ya.”
”Kenapa? Kau masih menyukainya, Jui?”
Jui mengalihkan tatapannya. ”Apa dia bahagia sekarang?” tanyanya kemudian.
”Ya...”


xxx


Matahari telah sayup-sayup menampakkan sosoknya yang letih. Seperti sosok laki-laki yang berjalan menyongsong senja hari ini.
”Jui, mau kemana kau?” tanya seorang wanita paruh baya dengan rambut kepirangan yang sama dari ambang jendela.
”Hanya jalan-jalan sebentar. Aku bosan terus-terusan diam di kamar...”
’Tapi kau masih sakit...”
”Aku tak apa-apa, Bu,” sergahnya.

Ia menyeret pelan langkahnya diantara salju-salju yang mencair di sepanjang jalanan yang dulu sering dilaluinya. Sudah lama ia tak melewati jalan ini, jalan yang membuatnya harus berputar dua kali lebih jauh untuk tiba di sekolahnya. Namun entah mengapa ada sesuatu yang mengubah waktu hingga sepersekian kali lebih cepat bergulir jika tengah bersamanya.

Memori-memori singkat yang telah tersimpan rapat dalam angannya seakan kembali tercecer mengikuti langkah-langkah pendeknya. Tak seorangpun tahu. Laki-laki ini tengah menyimpan luka dalam hatinya...

xxx

Aku berjalan pulang dengan sangat ringan menapaki jalan-jalan yang ramai, sepi, hingga berkelok-kelok. Ya, IV membuatku tersenyum lagi hari ini...
Aku ingin selalu melihat senja yang indah seperti hari ini. Tanpa kesedihan dan penyesalan karena orang yang tolol itu. Orang yang pernah membuat hidupku berantakan...

AUWHH....

Sesuatu membuatku tersandung hingga terjatuh ke tanah yang masih berlapis salju tipis itu.
”Siapa orang tolol yang menaruh batu di tengah jalan begini sih?!” umpatku kesal.
Kenapa Tuhan tak bisa membiarkanku bahagia walau hanya sebentar saja? T_T

”Hanya orang bodoh yang tak melihat batu sebesar itu,” celetuk seseorang tiba-tiba.
Aku menengadahkan kepalaku dan terkejut. ”K-KAU???”

Dia... Kenapa?? Kenapa aku harus bertemu dengannya lagi di saat aku mulai bisa melupakannya? Ya, kurasa Tuhan memang tak membiarkanku bahagia walau hanya sebentar...

Ia mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri tapi aku hanya menampiknya. ”Terima kasih!”
”Kenapa kau ketus sekali? Masih marah padaku?” tanya Jui.

Aku mengamati sosok yang berdiri di hadapanku itu. Sepertinya ia tak banyak berubah sejak terakhir kali aku melihatnya malam natal beberapa bulan lalu. Hanya saja tubuhnya terlihat lebih kurus dan pucat.

”Tidak...” kataku. ”aku bahkan sudah melupakan semuanya.”
”Baguslah...”
”Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku sambil membersihkan mantelku dari bulir-bulir salju yang menempel.
”Entahlah. Mungkin kita masih berjodoh...”

Apa katamu? Aku sudah terlalu muak padamu, Jui...

”Oya... tadi aku melihat Rie...” ucapnya sebelum aku berjalan pergi mendahuluinya.
”Hah?”
”Sedang menangis...”
Mendadak aku merasakan firasat buruk. ”Dimana kau melihatnya??!”

Malam telah merambat semakin tinggi namun aku dan Jui belum juga menemukan sosok Rie. Apa yang telah terjadi padanya? Dia terlihat aneh akhir-akhir ini dan aku yakin sesuatu telah menimpanya.
”Yuki... bisa kita istirahat sebentar?” kata Jui sambil sedikit terengah.
”Hm... baiklah.” Aku tak tega melihat wajahnya yang semakin memucat karena kedinginan.

Kami berdua duduk di sebuah bangku taman yang kosong. Yah, kurasa aku juga sangat lelah seharian ini berkeliaran bersama IV dan mencari Rie. Mendadak aku menyadari sesuatu. Ada yang aneh dengan orang di sampingku ini. Sepertinya ia tak berhenti menatapku sejak tadi.
”Kenapa kau menatapku begitu?” tanyaku.
”Pernahkah aku mengatakan padamu kau sangat cantik?”
”A-apa?”
Wajahku mendadak memerah. Kenapa ini? Kenapa aku? Perasaanku jadi tak karu-karuan hanya karena si brengsek itu merayuku...
Sesuatu yang dingin menyentuh pipiku. Tangan yang membeku seperti es itu membelaiku dengan hangat dan lembut sambil masih menatapku dengan tatapan yang sama. Dulu aku sangat menyukai tatapan itu... entahlah, aku selalu terbuai karenanya...

Ia merapatkan tubuh kurusnya padaku, kemudian bibirnya mendekatiku perlahan. Aku tak bisa mengelak... Bibirku terbasuh pelan oleh ciumannya selama beberapa saat.

PLAK!

Aku menampar pipinya keras-keras hingga ia terdorong mundur ke belakang. Kini wajah pucatnya tampak merona kemerahan karena tamparanku yang mendarat keras tadi.
”Apa yang kau lakukan??!” seruku marah. Aku tak akan tertipu lagi kali ini... tidak akan!!
Jui hanya tertunduk sambil memegangi wajahnya. ”Maaf...” ucapnya lirih.


xxx


”Apa ada hal yang penting?”
”Ya,” ucap Rie sambil membuang tatapannya ke arah anak-anak kecil di lapangan itu. Ia masih tak sanggup menatap laki-laki itu langsung.
”Apa?”
”Aku...”
Lagi-lagi Rie tak dapat melanjutkan kata-katanya. Byo mendengus kesal. ”Kau sungguh membuang waktuku. Cepat katakan apa maumu!” serunya.
”Baiklah…” Akhirnya Rie berani menatap tegas wajah angkuh laki-laki itu. “AKU HAMIL!”
”A-APA KATAMU???!!”
”Aku hamil dan bayi ini adalah anakmu,” ulangnya.

”TAK MUNGKIN!!!”
”YA, INI MEMANG ANAKMU!!!” seru Rie. Ia tak peduli meski semua orang di bumi ini menoleh ke arah mereka.
”Aaargh..... Bodoh sekali kau ini...”
”Kau yang bodoh!” balas Rie.
”Sekarang apa maumu??!” Kini Byo yang membuang jauh pandangannya dari Rie.
”Kau harus bertanggung jawab.”
”Gugurkan saja...” jawabnya enteng. ”kau mau uang berapa?”
”Apa?”


Aku ingin menggulingkan waktu dan merobohkan puing-puing penyesalan ini.
Kenapa.......
kenapa aku harus bertemu denganmu.... Brengsek???



Rie berpaling pergi meninggalkan sosok Byo mengikuti puing-puing hatinya yang hancur. Entah akan melangkah kemana kedua kakinya itu. Hanya kekalutan yang membimbingnya berjalan. Ia hanya ingin pergi sejauh-jauhnya dari tempat itu, dari hadapan wajah memuakkan itu bersama longsoran air mata yang tertumpah jatuh tanpa bisa ia hentikan. Akhirnya ia berhenti di sebuah bangunan tua kosong karena nafasnya semakin tersengal kelelahan.
”Dasar breengseeeeeeeeeeeeeekkkkk

k!” tangisnya sejadi-jadinya.

Rie termenung diam di tempat itu hingga senja itu runtuh berganti mlam. Pikirannya mengembara jauh meniti kekalutan-kekalutan yang menumpuk semakin berat di hatinya. Ia tak tahu lagi harus menuju kemana untuk melampiaskan ini semua. Malam yang gelap dan dingin ini kembali mengingatkannya pada kejadian malam itu... Malam dimana ia dan Byo melakukan hal menjijikan itu sebelum akhirnya mereka berpisah karena keesokan harinya seorang wanita datang ke hadapan mereka dan mengatakan ia tengah hamil bayi milik Byo.

Dan konyolnya, sekarang ia sendiri yang datang pada Byo dan mengatakan ia tengah hamil... Rie hanya tertawa ironis mengingatnya... menertawai dirinya yang begitu tolol.


Byo membuka pintu apartemennya malam itu dan terkejut melihat sosok wanita pucat dengan pakaian basah kuyup berdiri di ambang pintunya. Baju seragam yang ia kenakan nampak kusut dengan darah segar masih mengucur dari balik roknya.
”B-Byo...” rintihnya sambil menatap nanar mata Byo.
”R-Rie... apa yang kau...”
”Ini... bayimu, Byo...” kata Rie dengan suara parau dan napas terputus-putus. Kedua tangannya menyodorkan seonggok jabang bayi merah yang masih belum berbentuk manusia. Tetes-tetes darah kental menetes dari segumpal daging itu.
Byo ternganga dan terbelalak ngeri menatapnya. Suaranya tercekat hingga ia nyaris tak dapat mengucap kata sepatahpun.


”TIDAAAAK!!!”

Ia terjaga dari mimpinya. Napasnya terengah-engah naik turun dan keringat dingin bercucuran deras di dahinya. Beberapa saat kemudian barulah ia kembali tenang dan menyadari bahwa semua itu tak lebih hanya mimpi. Sebuah mimpi buruk. Ia tak dapat kembali memejamkan matanya hingga pagi menyusup masuk melalui celah-celah tirai jendela kamarnya.

Ia memutuskan untuk bergegas turun dari tempat tidurnya menuju kamar mandi.

Sesosok bayangan menatapnya tajam saat ia berdiri di hadapan sebuah cermin besar salah satu sisi dinding kamar mandi. Bayangan seorang lelaki pendosa yang bersembunyi di balik keangkuhan dan segala kesempurnaan yang ia miliki. Ia menatap Byo dalam-dalam. Mata gelapnya menyiratkan sebuah memori akan kelam masa lalunya yang masih melekat jelas dalam angannya meski ribuan kali ia mencoba manghapus itu semua. Satu per satu masa lalunya yang telah tersegel rapat kembali terlepas, termasuk kejadian saat ia bertemu dengan Rie sore itu.

”Aku hamil dan bayi ini adalah anakmu.”

Kata-kata yang sama ia dengar dari seorang wanita tiga bulan yang lalu.
”Byo, aku hamil...” ucap wanita itu.

Kata-kata itu terus menggema di benaknya. Membuatnya sangat geram jika mengingat hal itu, saat wanita penipu itu telah memperalatnya tiga bulan yang lalu untuk bertanggung jawab atas bayi yang sama sekali bukan miliknya. Byo memang pernah menyentuh wanita itu, dan juga banyak wanita lain... tapi wanita jalang itu hanya memperalatnya semata.

Ia sadar, sikapnya kemarin terhadap Rie benar-benar telah keterlaluan. Tapi ia melakukan itu semata-mata karena ia takut. Ia takut Rie hanya berpura-pura dan bayi itu bukanlah anaknya.

Tapi bagaimana jika bayi itu benar anaknya? Byo terus bergelut dalam pikirannya sendiri.

Byo mencari-cari Rie di kelasnya siang itu. Namun hari ini ia masih tak masuk ke sekolah. Byo sendiri tak tahu kenapa ia ingin menemui gadis itu lagi. Mimpinya semalam pun terus saja membayanginya seharian ini. Berputar-putar di otaknya meski berkali-kali pula ia menepisnya. Ia mencari Rie ke rumahnya. Namun lagi-lagi ia tak menemukannya disana.

”Dimana kau, Rie??” Tiba-tiba sebuah tempat terlintas di benaknya dan Byo yakin Rie berada di tempat itu sekarang.


Rie tengah duduk di ruang tunggu sambil meremas-remas sehelai saputangan yang telah kusut. Perasaannya sungguh sangat gugup dan takut. Di sampingnya, duduk seorang remaja yang tampak seumuran dengannya dengan perut membuncit. Ia juga tengah menunggu gilirannya tiba ditemani seorang laki-laki yang duduk di sampingnya. Rie terus menggigit-gigit bibirnya hingga tiba gilirannya dipanggil. Perasaannya semakin terasa diaduk-aduk saat memasuki ruang aborsi. Langkah-langkahanya terasa begitu berat menapaki tiap inci lantai itu hingga akhirnya ia memasuki sebuah ruangan...

Apakah akan sakit?
Aku takut...

Aku sangat takut, Byo....
Byo....




”RIIEEEEEEE.....!!!!!!” Byo menerobos masuk ke dalam sebuah klinik tempat Rie berada. Ia tak peduli meski seorang petugas klinik menghalang-halanginya untuk masuk ke dalam. Byo mendobrak pintu ruang aborsi itu keras-keras. Ia berharap belum terjadi apa-apa, ia berharap Rie baik-baik saja, ia berharap bayi itu masih selamat... ia terus berharap dalam batinnya.

Namun terlambat.


TBC


wa... tumben agak panjangan nih ficnya?
Gomen, di chapter ini IV cuman keluar bentar... tapi chapter depan lumayan banyak qo. Gantian donk buat Jui yg dibanyakin?XD
Oya... sankyu bwat Ka Suntea yg udah ntransletin lagu Sister-nya Vidoll... *saia comot dikit tuh di atas* XD
Rie... peranmu makin kesini makin sengsara aja nih keanya... ga papa pan?XDDDDD



Sankyu vo all.... m(u_u)m



†:::I WILL NEVER BE A MEMORY:::†


1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 最初次のページへ >>