buntar bayang-bayang mandikan kami yang terbaring loyo di dekat jendela berbirai dentin setinggi tubuh pria. menjelajahi keluk-keluk berserabut, aku menuang racun bluberi ke lintang tulang selangkanya. panorama melantur kacau dan permadani akuatik membungkus rapi persegi panjang yang lama-lama cecerkan lunau-lunau pada metropolis yang tidak pernah mati. kulit luar melon membunglon di kayu-kayu pepohonan yang selalu dan akan selalu kusukai. kikikannya yang mengisi lubang bisu semenyakit keindahan. ia menganggap itu kado ulang tahun ketujuh belas, bersama napas sesejuk bayi yang pertama kali tertawa siang. cahaya lain jatuh di paha ceking, kuoles dengan air mani lebah alias satu setel nektar bergizi dan sengat-sengat ibunya, yang mengalur dalam pembuluh darah; mengantar kerangka dongeng di senja-senja yang kami rebahi. nanap netra solidku bugili putra adam di bawah tubuh yang lincah nan culas meliuk-liuk, atas ke bawah, kiri ke kanan, radiasi penuh akan suara apel tergigit di jam-jam perunggu. komandonya titah aku membungkuk lebih jauh agar jilati sekujur kekacauan yang telah kupita apik.
aku tidak punya pilihan lain.

